Site icon BULATIN

Bisnis Massa Bayaran dan Aksi-Aksi Demo

Jakarta – Gedung KPK menjadi sasaran demonstran dalam sepekan terakhir. Mereka mendukung revisi UU KPK dan mendesak agar pemimpin baru lembaga antirasuah segera dilantik. Namun, kebanyakan adalah demonstran bayaran.

SAYA AGAK RAGU nomor telepon seluler yang diberikan itu bisa dihubungi. Tapi keragu-raguan itu akhirnya hilang, setelah seorang lelaki berkata “Halo, siapa ini?” di ujung sambungan telepon.

Lelaki itu berinisial AK atau sebut saja Bung Rey, koordinator massa demonstran bayaran.

“Siang, benar ini Bung Rey?”,  kata saya, dan dia langsung menjawab “Ya, betul”.

Saya sengaja tak membeberkan jati diri karena persoalan keselamatan. Karenanya, untuk keperluan investigasi yang mengandung kepentingan publik, sesuai etiket jurnalistik, saya melakukan penyamaran.

Ini adalah langkah terakhir saya untuk mencoba menguak praktik pendemo bayaran yang menyasar KPK, setelah banyak narasumber tak bersedia memberikan keterangan.

“Begini bung, saya rencananya mau gelar aksi, apa Bung Rey bisa sediakan massa?” saya memulai.

“Bisa, tapi harus ketemu dulu aja, kalau lewat telepon agak ngeri,” pintanya.

“Oh gitu, enaknya ketemu kapan bung?”, dia tampak bersemangat dan langsung menjawab, “Saya bisa sekarang.”

“Posisi bung di mana?” tanya saya.

“Saya di kafe 35 Wahid Hasyim.”

Saya lantas mengelak, “Kalau besok atau malam ini bisa?”

“Malam, bisa malam,” katanya.

“Begini bung, kita pengin arahin isunya supaya jangan ada pihak asing ikut campur ke dalam KPK kayak gitu,” ucap saya.

“Hmm… paham… paham,” timpalnya.

“Paling saya cuma butuh lima puluh atau seratusan orang, itu kira-kira berapa bung?”

Dia memilih untuk tak menjawab. Ia berkukuh untuk bertemu, bertatap muka.

“Iya, entar malam jam berapa ketemu? Biar ini, soalnya kalau ketemu lebih enak biar kita rinci-rinci kebutuhan dan lain sebagainya,” kata dia.

Saya jawab, “Saya juga ini kan mau komunikasikan dengan atasan saya, kira-kira biar ada gambaran dulu.”

“Ya, kalau gambaran taruh saja kalau massa aksi biasa itu, biasanya umumnya kan ya dikasih 100 – 150 ribu per orang, sama metromini 500 ribu, mobil komando 2 juta sampai 2,5 juta gitu aja sih, sama spanduk lah kalau spanduk mah standar lah 150 ribu.”

“Kalau butuh 50 orang kira-kira berapa bung?”

“50 orang kalikan saja 100 bang,” pintanya.

“Rp 5 juta lah ya?” kata saya.

“Hmm… iya 5 juta ya, itu khusus untuk massa doang ya. Kalau 50 orang itu buat massa doang. Belum masuk mobil komando, media, spanduk. Kan itu semua tergantung kebutuhan, spanduknya berapa gitu kan.”

“Jadi, kisaran 15 juta cukup lah ya?” saya menyimpulkan.

“Ya, 15 juta bisa lah dipaksain bisa,” kata dia.

Saya lantas mengalihkan pembicaraan, tidak lagi soal biaya, melainkan persoalan aksi di lapangan.

“Saya sih minta bung nanti agak rapi manajemennya. Karena belakangan ini media juga kan banyak menemukan adanya massa bayaran,” kata saya.

“Iya, makanya enaknya kita ketemu bicara strategi di lapangan. Soalnya, biar bawa massa banyak, tapi kita kan lawan media kalau di KPK itu bang. Media di KPK itu, kalau cuma datang orasi, susah, enggak bakalan naik, kecuali kita sediakan media sendiri.”

Dia lantas menjelaskan, “Nah bagusnya itu ada kayak teman-teman kemarin enggak pakai baju itu tulisannya.. (KPK No LSM) itu cuma berapa, enggak sampai 50 orang, tapi enak, naik di media mainstream karena mereka ngambil manajamen di lapangannya bagus. Enggak banyak tapi enak, massa enggak banyak, tapi tujuannya sampai ngehantamnya bagus.”

“Bung kemarin main juga di KPK?” kata saya.

“Iya, kemarin, kalau kemarinnya itu dipanggil jadi orator. Beberapa hari yang lalu lah. Makanya enaknya ketemu sih bang, jadi kita bisa omongin cara di lapangan. Kan sekarang ini KPK… ya biasalah media dipakai semua kan sama mereka,” tudingnya.

“Kalau untuk settingan chaos-chaos sedikit bisa? Berapa tuh bung?”

“Ya, kalau ada lawan ada kontranya bisa,” jawabnya.

“Itu ada biaya lagi bung?”

“Itu enaknya panggil mahasiswa, bukan pemuda.”

Saya lantas mencecar, “Itu ada biaya lagi enggak kira-kira?”

“Ya kalau sampai chaos-chaos sedikit mahdimengertiin aja kawan-kawan itu kan.”

“Bisa tapi ya?”

Dia lantas mengutarakan kalimat yang menarik, “Bisa lah itu. Apa yang enggak bisa di republik ini bang, yang enggak bisa itu kita mengubah Alquran sama Alkitab saja.”

“Kalau bung sendiri sudah pengalaman, paham dan seringlah ya?” goda saya.

“Ya Alhamdulillah lah.”

“Pemilu suka main juga? Saya kemarin pas pemilu sempat sulit juga tuh nyari massa,” kata saya.

“Abang kalau mau tahu cari saya buka aja (dia menyebut nama lengkap dirinya) biar abang lihat sendiri lah.”

“Siap bung siap,” kata saya.

“Nanti malam kalu ada waktu di Salemba bagus tuh di Mas Miskun,” kata dia, ingin bertemu.

“Di mana?”

“Mas Miskun, Salemba Tengah.”

Hooh… apa, apa tuh bung?”

“Enak kalau duduk situ malam.”

“Nongkrongnya di situ ya?”

“Siap, siap,” kata dia, menutup telepon.

Seusai 6 menit 23 detik berbincang dengan Bung Rey via telepon, saya tergugah mencari tahu rekam jejaknya lewat mesin peramban Google, seperti yang disarankannya.

Bung Rey memang bukanlah orang sembarang. Berdasar informasi via Google, dia kerap terlibat dalam berbagai aksi demonstrasi.

Bahkan Bung Rey tercantum sebagai ketua umum di berbagai organisasi masyarakat atau ormas.

Pada tahun 2018, Bung Rey pernah menjadi koordinator aksi yang mengatasnamakan diri dari sebuah ormas.

Bung Rey bersama massanya ketika itu meminta Polda Metro Jaya memproses kasus dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks yang diduga dilakukan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan Fadli Zon.

Tak tanggung-tanggung, Bung Rey bahkan berani mendesak agar Irjen Idham Aziz yang ketika itu menjabat Polda Metro Jaya untuk dicopot, bila tak memenuhi permintaan mereka.

Kemudian, di penghujung akhir tahun 2018, Bung Rey yang mengatasanamakan diri sebagai ketua umum ormas yang berbeda dengan sebelumnya, menggelar aksi demonstrasi di Depan Gedung Komnas HAM dan Ombudsman.

Kali ini, Bung Rey bersama massanya memperingatkan agar Komnas HAM dan Ombudsman tidak terjebak dalam politik praktis, serta turut mempolitisasi kasus penyerangan air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan.

Ketika itu, dalam aksi demonstrasinya, Bung Rey membawa massa mengenakan topeng menyerupai wajah Novel Baswedan seraya membawa sebuah kartu kuning dan peluit.

Hal itu mereka lakukan sebagai bentuk peringatan terhadap Komnas HAM dan Ombudsman untuk tidak turut mempolitisasi kasus penyerangan air keras terhadap Novel Baswedan, yang disebut sebagai bahan kampanye lawan politik Joko Widodo tatkala Pemilu 2019.

Kiprah Bung Rey tak terhenti di situ. Bung Rey, seperti yang diakuinya, juga turut terjun dalam aksi demonstrasi yang belakangan ini rutin di gelar di depan Gedung KPK.

Kebodohan karena Korupsi

LELAKI ITU SANTAI, bahkan terlalu santai untuk ukuran pegawai instansi negara. Pria itu bernama Nanang Farid Syam, pegawai KPK, angkatan pertama.

Saya menemui Nanang di gedung lama KPK, Jumat 20 September pekan lalu, siang bakda Jumatan.

Nanang mengakui, kantor tempatnya bekerja, belakangan ini diterpa demonstrasi massa yang pro revisi UU KPK.

Awak media banyak menemukan berbagai kejanggalan dari para peserta aksi demonstrasi pro-revisi UU KPK itu.

Misalnya, mulai dari keterlibatan anak-anak di bawah umur, peserta yang tidak tahu apa saja tuntutannya, hingga yang mencengangkan lagi yakni ada peserta aksi mengaku dibayar Rp 50 ribu.

Nanang tidak terlalu menyoroti fenomena aksi demonstrasi bayaran tersebut. Menurutnya, massa bayaran hanyalah korban para koruptor. Sebab, kebodohan dan kemiskinan masyarakat, turut menjadi imbas maraknya korupsi.

Jauh-jauh hari Nanang sudah tahu adanya fenomena aksi bayaran seperti itu. Persisnya, sejak beberapa tahun dirinya mulai bekerja di KPK.

“Itulah yang sedang diperjuangkan bersama. Itu fenomena kebodohan gara-gara korupsi. Saya pribadi, sudah tahunan melihat mereka kayak begitu,” tuturnya.

“Sikap bung bagaimana terhadap massa bayaran itu,” tanya saya.

“Saya tidak benci, saya justru kasihan, karena mereka orang-orang bodoh, orang-orang miskin yang diperalat oleh oligarki, oleh para koruptor.”

“Mereka itu orang bodoh, orang miskin. Bagi mereka, Rp 50 ribu itu bisa makan sehari satu keluarga, jadi mereka tidak peduli uang itu dari mana. Mereka itu tidak sadar, yang mereka lawan itu adalah orang yang sedang memperjuangkan masa depan mereka,“ tutur Nanang.

***

SEKITAR PUKUL 15.20 WIB, seusai berbincang dengan Nanang, saya kembali ke Gedung Merah Putih KPK.

Tampak sejumlah massa pro-revisi UU KPK yang mengatasnamakan Himpunan Aktivis Milenial Indonesia (HAMI) dan Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Relawan Cinta NKRI tengah menggelar aksi.

Nama mereka terdengar tidak asing belakangan ini. Sebab,hampir setiap hari mereka menggelar aksi demonstrasi menuntut agar pimpinan KPK Jilid IV Agus Rahardjo Cs mengundurkan diri.

Mereka juga meminta Wadah Pegawai KPK dibubarkan, serta meminta Presiden Jokowi segera melantik pimpinan KPK Jilid V terpilih, Irjen Firli Bahuri Cs.

Seorang orator tampak berdiri tegak di atas mobil komando. Pria bertubuh kekar itu tampak mengenakan pakaian putih, celana jin, topi cokelat, dan kacamata hitam. Pada tangannya, tergenggam pelantang suara.

Sambil menujuk ke arah Gedung Merah Putih, dia menyerukan mendesak Agus Rahardjo Cs mengundurkan diri.

Dia juga meminta WP KPK untuk dibubarkan. Di lain sisi, dia meminta Jokowi segera melantik Irjen Firli Bahuri Cs sebagai Ketua KPK diperiode 2019-2023.

Di tengah-tengah orasi lelaki itu, teman saya sesama jurnalis berkata, “Itu dia Bung Rey.”

Sumber : Suara.com

Exit mobile version