Site icon BULATIN

Dana Triliunan Belum Sanggup Hantarkan PSG Juara Liga Champions

Dana Triliunan Belum Sanggup Hantarkan PSG Juara Liga Champions

Dana Triliunan Belum Sanggup Hantarkan PSG Juara Liga Champions

Bulatin.com – “Gagal maning gagal maning”. Kalimat ini sering didengar pada Sitkom era 1990-an, Tuyul dan Mbak Yul. Ucapan tersebut keluar usai Sontol dan Bonggol gagal menangkap Ucil yang menjadi tokoh utamanya.

Ungkapan ini tampaknya juga cocok disematkan kepada Paris Saint-Germain. Nasib mereka di Liga Champions tak ubahnya dengan Sontol dan Bonggol, apes.

Sejak 2011 lalu, pemilik PSG, Nasser Al-Khelaifi, mencanangkan proyek besar dengan berbasis pada konsep tim bertabur bintang.

Banyak bintang yang dibeli PSG dalam era Al-Khelaifi. Sebut saja Zlatan Ibrahimovic, Angel Di Maria, Edinson Cavani, Thiago Silva, Marquinhos, Dani Alves, hingga Neymar.

Pengeluaran mereka untuk membeli pemain sejak 2011 hingga sekarang, mencapai £919,9 juta atau setara Rp17,6 triliun.

Menggelontorkan dana yang begitu wah, PSG nyatanya tak kunjung berprestasi di Liga Champions. Jangankan meraih trofi, semifinal pun tak bisa mereka capai.

Pada musim 2012/13 hingga 2015/16, langkah PSG terhenti di perempatfinal. Mereka selalu sial di perempatfinal saat berhadapan dengan Barcelona, Chelsea, dan Manchester City.

Catatan lebih buruk ditorehkan PSG dalam dua musim terakhir. Sejak musim 2016/17, PSG cuma bisa menjejakkan kaki di babak 16 besar.

Apa yang Salah?

Apa yang salah dengan PSG? Bintang punya, pelatih juga top, lalu sebenarnya penyakit PSG itu di mana?

Jawabannya, sebenarnya banyak. Tidak ketatnya persaingan di Ligue 1 juga jadi salah satu faktor utama. Level PSG tak bisa berkembang dengan lawan-lawan di Ligue 1.

Mereka selalu dengan mudah meraih kemenangan. Cuma ada beberapa tim yang mampu mengimbangi PSG, yakni Olympique Marseille, Olympique Lyon, dan AS Monaco.

Tiga klub tersebut juga tak secara konsisten bisa mengganggu dominasi PSG. Mereka sering kalah pula saat jumpa PSG. Hasilnya, marjin begitu jauh.

Beda dengan Spanyol atau Inggris. Dominasi Barcelona dan Real Madrid kini tak lagi kental.

Atletico Madrid mulai menanjak. Valencia pun bangkit. Dan tim-tim seperti Sevilla menjadi ancaman.

Tentu, level mereka meningkat. Mental bertanding terasah, dan pengalaman pun semakin kaya.

Variabel lainnya adalah sistem pembinaan usia dini. Perlu ada sistem pembinaan usia dini yang tertata di PSG.

Kebijakan mendatangkan bintang, sudah seharusnya digeser oleh PSG. Lebih baik, PSG menciptakan bintang. Itu akan menguntungkan karena PSG nantinya memiliki skuat yang kualitasnya merata.

Memang, ada marjin yang terlalu jauh antara tim utama dan lapis kedua di PSG. Pemain lapis kedua PSG kualitasnya tak sama baiknya dengan yang pertama. Makanya, jika ada yang absen, pastinya akan sulit mencari penggantinya.

“Semua sangat kecewa. Bukan waktunya untuk melakukan perubahan. Kami tenang dan memikirkan apa yang harus diubah,” kata Al-Khelaifi dilansir L’Equipe.

“Reaksi saat tersingkir pastinya sama. Kami tak senang, sangat kecewa. Kami dominan di babak pertama, tapi tak ada gol tercipta. Padahal, dengan satu gol saja pertandingan bisa berubah. Apalagi, Marco Verratti kena kartu merah,” lanjut Khelaifi.

Ternyata, uang PSG belum cukup untuk “membeli” trofi Liga Champions.

Exit mobile version