Bulatin.com – Diskusi atau bisa juga dibilang perdebatan terkait audisi pencarian bakat yang dilakukan oleh Persatuan Bulu Tangkis Djarum (PB Djarum) masih terus terjadi di dunia maya.
Ada beberapa pihak yang merasa setuju dengan sikap Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menganggap ajang tersebut merupakan eksploitasi anak untuk mempromosikan merek Djarum yang identik dengan produk rokok.
Ada pula yang menentang penilaian KPAI karena menganggap ajang tersebut tidak mengeksploitasi anak atau memicu anak untuk menjadi perokok.
Mereka yang menentang KPAI juga melihat banyaknya prestasi-prestasi yang ditorehkan oleh atlet-atlet yang “lahir” di PB Djarum.
Polemik lebih lanjut meluas kepada benar atau tidaknya sponsor rokok pada kegiatan olahraga memicu orang, khususnya anak-anak, untuk mencoba rokok.
Selain itu, muncul pula pandangan tentang konsep CSR yang “benar”.
Sebab, ada yang menganggap bahwa program CSR yang dilakukan oleh PT Djarum melalui Djarum Foundation (dimana PB Djarum menjadi bagian di dalamnya) tidaklah tepat.
Bahkan, sebuah penelitian menyebut bahwa program CSR tersebut justru “merekrut perokok baru”. Benarkah?
CSR Hanya Kedok
Program-program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibilities/CSR) memang dihadirkan untuk membangun reputasi perusahaan.
Program-program CSR tersebut dikemas sedemikian rupa melalui bidang pendidikan, konser musik, festival film, seni pertunjukan, atau yang saat ini menjadi polemik, olahraga.
Padahal, sebenarnya konsep CSR yang tepat justru fokus pada dampak buruk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut, baik aktivitas maupun produknya.
“Selama ini apakah kegiatan yang dilakukan perusahaan rokok dalam rangka CSR itu adalah upaya penanggulangan dampak. Industri rokok selama ini hanya memberikan bantuan untuk sektor-sektor yang membutuhkan bantuan dana,” ungkap aktivis Lingkar Studi CSR, Jalal, Rabu (23/5/2012), seperti dilansir Bulatin dari kompas.com.
Jalan juga menambahkan bahwa para ahli CSR di dunia tidak ragu untuk menyatakan bahwa industri rokok tidak bisa dianggap sebagai industri yang bertanggung jawab sosial.
Bahkan sebuah penelitian mengenai program CSR di Indonesia menunjukkan bahwa program CSR para produsen rokok malah memicu para remaja menjadi perokok baru.
Berikut ini uraiannya.
Sebuah penelitian yang berjudul “CSR activity of tobacco companies in Indonesia: Is it a genuine social responsibility?” mengulas tentang bagaiamn program CSR para pabrik rokok di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Harsman Tandilittin dari Technical University of Munich dan Christoph Luetge dari Technical University of Munich pada 2015 ini mengurai apakah program CSR perusahaan rokok di Indonesia sudah sesuai dengan konsep CSR yang seharusnya.
Penelitian ini menarik kesimpulan bahwa belalui program CSR mereka, perusahaan tembakau telah berhasil mencapai tujuannya untuk mempromosikan industri tembakau sebagai industri yang bertanggung jawab secara sosial di Indonesia.
Kegiatan CSR perusahaan-perusahaan tembakau telah menanamkan citra baik mereka di masyarakat Indonesia, karena kegiatan-kegiatan tersebut dengan mudah memikat simpati publik.
Akibatnya, motivasi bisnis perusahaan tembakau berhasil tertanam dalam kontribusi positif mereka dan dalam nilai-nilai sosial dari program CSR mereka terkait dengan pendidikan, kepedulian masyarakat, lingkungan, dan budaya.
Yang penting, kegiatan CSR mereka dihormati oleh pemerintah dan masyarakat dengan penghargaan CSR.
Penelitian ini telah mengkonfirmasi bahwa program CSR perusahaan tembakau Indonesia bukan bagian dari tanggung jawab sosial yang asli, karena menurut Komisi Eropa dan ISO 26000, perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial harus bertanggung jawab atas dampak dari keputusan dan kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan melalui perilaku yang transparan dan etis.
Sebaliknya, melalui kegiatan CSR mereka, perusahaan tembakau Indonesia justru mengabaikan dampak negatif tembakau.
Tanpa intervensi eksternal, program CSR perusahaan tembakau akan hampir mustahil untuk menjadi tanggung jawab sosial.
Merekrut Remaja jadi Perokok Baru
Yang lebih mengerikan lagi dari “kegagalan” program CSR para produsen rokok tersebut, jika merujuk pada penelitian tersebut adalah fakta bahwa alih-alih mencegah lahirnya perokok di kalangan remaja, perusahaan tembakau telah menggunakan kegiatan CSR mereka sebagai media iklan canggih untuk merekrut remaja sebagai perokok baru.
Merek-merek rokok, logo perusahaan, dan nama-nama perusahaan sengaja ditampilkan pada inisiatif CSR, yang menargetkan remaja.
Tak satu pun dari kegiatan CSR telah membahas bukti ilmiah bahwa nikotin adalah zat yang sangat adiktif, merokok atau merokok pasif menyebabkan banyak penyakit mematikan, dan sponsor tembakau memiliki peran penting dalam merokok pada remaja.
Menurut Scollo (2012), merokok adalah kebiasaan narkoba yang paling membuat ketagihan, karena perokok memiliki tingkat keberhasilan yang paling rendah dalam berhenti dibandingkan dengan pengguna zat adiktif lainnya.
Memang, telah lama diketahui bahwa perusahaan tembakau telah secara tepat mengendalikan kandungan nikotin dalam rokok mereka untuk menciptakan dan mempertahankan kecanduan, terutama di kalangan perokok baru (TCLC, 2006).
Beberapa penelitian (DHHS, 2012; DiFranza, 2007) telah mengungkapkan bahwa anak-anak dan remaja perokok adalah yang paling rentan terhadap kecanduan nikotin yang parah dan berkelanjutan.
Bahkan, melalui mentol sebagai zat tambahan dalam rokok, industri tembakau secara implisit mempromosikan merokok di bawah umur, yang menghasilkan lebih banyak kesulitan bagi para perokok muda untuk berhenti merokok (DKFZ, 2012; Kreslake 2008).
Karena mentol memiliki berbagai efek fisiologis, maka mentol meningkatkan daya tarik rokok kepada remaja.
Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa sebagian besar perokok adalah orang yang tidak mampu membuat keputusan rasional, termasuk remaja dan orang yang tidak berpendidikan (WHO, 2012; Dwyer 2009).
Menurut beberapa penelitian (DHHS, 2012; Hayashi, 201; Goodin, 1989), keputusan remaja untuk mengambil rokok dan terus merokok bukanlah pilihan asli mereka.
Mereka telah dijerat oleh yang lain, termasuk industri tembakau. Sayangnya, mengingat remaja adalah sumber utama perokok baru, industri tembakau tidak punya pilihan lain selain mengubah remaja menjadi perokok kecanduan sedini mungkin.
Sebuah penelitian telah mengkonfirmasi bahwa remaja adalah target utama pemasaran rokok (Nichter, 2009).
Bahkan, upaya terbatas pemerintah Indonesia untuk mengendalikan iklan rokok telah dimanfaatkan oleh perusahaan tembakau multinasional untuk menyesuaikan kebijakan mereka agar sesuai dengan situasi.
Misalnya, British American Tobacco (BAT) telah melarang iklan yang mengaitkan merokok dengan orang-orang sukses atau kecakapan seksual, tetapi BAT telah membebaskan diri dari kebijakan di Indonesia (Bland, 2013).
Terbukti, laporan WHO baru-baru ini menunjukkan bahwa merokok pada remaja Indonesia meningkat dua kali lipat dari 12,6% pada 2006 menjadi 23,5% pada 2010 (WHO, 2013b).
Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa dari 2007 hingga 2013, hanya sekitar 4,1% perokok Indonesia yang berhasil berhenti merokok.
Data ini menegaskan bahwa rokok telah menjebak para perokok menjadi kecanduan nikotin abadi.