Homeschooling Ternyata Simpan Manfaat yang Tak Dimiliki Sekolah Umum
Bulatin.com – Orangtua yang memilih homeschooling untuk pendidikan anaknya memiliki sejumlah alasan. Misalnya anak berprofesi sebagai artis yang membuatnya sibuk syuting, anak memiliki kebutuhan khusus dan sering di-bully di sekolah umum. Selain itu juga karena orangtua tak percaya dengan sistem pendidikan di sekolah umum.
Seperti pengalaman Ning Nathan. Ibu dua anak ini menjalankan homeschooling bagi putra bungsunya, Patrick, sejak 2015. Awalnya, langkah itu diambil Ning karena Patrick ketika duduk di kelas tiga sekolah dasar, belum juga bisa membaca seperti teman-temannya. Patrick memiliki kebutuhan khusus dengan diagnosis Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), yaitu sindrom yang membuatnya memiliki gangguan pemusatan perhatian dan perilaku.
“Saya memilih homeschooling karena anak saya berkebutuhan khusus. Dia trauma di sekolah, karena anaknya begini (berkebutuhan khusus) rentan di-bully,” kata Ning ketika ditemui pada peluncuran buku Home Learning, Belajar Seru Tanpa Batas, yang ditulis Ning bersama Natalia Ridwan dan Yulianti Hendra, di Jakarta, 15 Maret 2018.
Keterlambatan perkembangan Patrick, dirasakan Ning Natha sebagai ujian bagi dirinya. Apalagi Patrick sempat mengalami fase mogok sekolah dan ingin bunuh diri karena Ning terus memaksa ke sekolah. Patrick pernah mencurahkan isi hatinya pada Ning, ia tidak suka sekolah karena berisik. Sebagai gantinya, Patrick meminta untuk belajar di rumah.
Dengan pertimbangan mendalam, Ning akhirnya mengabulkan permintaan Patrick dengan menjalankan pendidikan homeschooling. Meski begitu, tantangan dan hambatan pasti ada. Satu tahun pertama menjalankan homeschooling, Ning sempat frustasi dan stres, karena proses belajar di rumah tidak berjalan dengan mulus.
Dalam metode homeschooling, orangtua harus menyediakan kurikulum pada anak secara mandiri. Ketika itu, Ning memilih untuk membekali paket kurikulum yang ternyata tidak sesuai untuk Patrick.
Seiring berjalannya waktu, Ning akhirnya menemukan komunitas homeschooling yang membantunya merumuskan kurikulum sendiri disesuaikan dengan minat dan ketertarikan Patrick. Hasilnya, kini Patrick menikmati aktivitas belajar homeschooling-nya dan bercita-cita menjadi seorang produser film.
Kurikulum disesuaikan kebutuhan anak
Bercermin pada pengalaman Ning, proses homeschooling memang menawarkan kelebihan tersendiri yang tak dimiliki sekolah umum. Pertama, dari segi kurikulum yang customized.
Misalnya, anak memiliki ketertarikan pada bidang tertentu, sejak awal orangtua sudah bisa mengarahkan proses belajar anak dengan memberikan porsi mendalam pada bidang tersebut.
Aranggi Soemardjan, praktisi pendidikan dan pendiri sekolah coding untuk anak, Clevio Coding Camp, juga membenarkan hal tersebut. “Minat dan bakat anak-anak beda. Kenapa kurikulumnya harus standar?” kata Aranggi pada VIVA.
Menurut Aranggi, dengan menjalankan homeschooling, dua anaknya bisa belajar sesuai dengan minat dan cita-citanya sejak awal. “Cita-citanya ingin jadi profesor. Kurikulum di sekolah umum ‘kan standar. Justru itu menghambat kesempatan anak untuk maju lebih cepat. Dengan homeschooling anak-anak belajar sesuai minat, mereka belajar filsafat, belajar sains, metalurgi, teoritikal fisika, dan karena suka, anak jadi ketagihan belajar itu,” kata Aranggi.
Skill lebih penting ketimbang ijazah
Ketika disinggung mengenai standar kompetensi yang diukur melalui ijazah, Aranggi mengatakan, bahwa anak homeschooling bisa mengambil jalur ujian paket A, B, dan C. Namun, dikembalikan lagi pada minat anak, untuk menjadi seorang pakar tidak harus bergantung pada ijazah. Menurutnya, yang terpenting adalah anak keranjingan belajar dan bisa menimba ilmu langsung dari pakar. “Steve Jobs, Mark Zuckerberg, dia DO (drop out) tapi bisa sukses,” kata Aranggi.
Sementara Ning, ia berfokus mengarahkan Patrick agar memiliki skill dan profesi yang bisa digunakan anaknya meraih kemandirian dalam hidup. Alih-alih mengandalkan ijazah, Ning mengatakan bahwa ia bisa mengambil jalur sertifikasi profesi untuk Patrick.
“Enggak harus sekolah doang tapi kita juga harus punya keterampilan untuk menunjang dia punya hidup. Jadi saya tidak begitu tekankan akademis.”