oleh

Menguak Tingginya Kasus Bunuh Diri di Kalangan Chef

Menguak Tingginya Kasus Bunuh Diri di Kalangan Chef

Bulatin.com – Kepergian Anthony Bourdain meninggalkan duka mendalam bagi para penggemanya di berbagai belahan dunia. Sosok yang dikenal sebagai legenda dunia kuliner ini dikabarkan mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.

Hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, faktor pemicu yang menyebabkan koki sekaligus presenter kuliner ini meninggal dunia.

Namun, sebuah gambaran dari riset yang dilakukan oleh Kantor Statistik Nasional Skotlandia menyebutkan, bahwa, stres, jam kerja yang panjang, dan pengawasan yang terus-menerus oleh pengawas restoran, menjadi beberapa faktor satu penyebab sejumlah besar elit kuliner di Skotlandia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Laporan itu juga mengungkapkan bahwa menjadi koki sekarang adalah salah satu pekerjaan yang paling rawan bunuh diri.

Budaya macho di dapur restoran ditambah dengan frustrasi karena tidak mampu menyamakan standar yang sama dengan koki dunia seperti Gordon Ramsay mendorong semakin banyak koki muda untuk bunuh diri.

Menurut studi pertama tingkat bunuh diri dengan profesi di Skotlandia, 95 koki berusia 16 hingga 45 tahun memutuskan mengakhiri hidup mereka dalam beberapa tahun terakhir.

Statistik ini muncul setelah bunuh diri yang dilakukan oleh Bernard Loiseau, salah satu koki terkemuka Prancis. Loiseau menembak dirinya sendiri setelah restorannya – La Côte d’Or di Burgundy – kehilangan dua poin dalam panduan Gault Millau yang sangat dihormati. Klaim terkait rumor ini juga menyebutkan, bahwa kehilangan penghargaan bintang Michelin mendorongnya semakin terpuruk.

Nick Nairn, koki selebriti mengatakan, dia sedih tetapi tidak terkejut dengan tingkat bunuh diri yang tinggi. “Jam panjang, upah rendah dan tekanan semuanya akan menjadi faktor penyumbang,” katanya.

Seperti dilansir dari Guardian, Unite, serikat terbesar di negara itu, melakukan survei terhadap koki profesional di London, dan dampaknya terhadap mereka terkait kondisi kerja. Hampir setengahnya bekerja secara teratur antara 48 dan 60 jam seminggu. Tujuh puluh delapan persen mengatakan mereka mengalami kecelakaan atau nyaris meninggal karena kelelahan.

Lebih dari seperempat mengonsumsi alkohol untuk melewati shift mereka, angka yang berlipat ganda menjadi 56 persen ketika menggunakan obat penghilang rasa sakit. Sebanyak 51 persen mengatakan mereka menderita depresi karena terlalu banyak bekerja.

“Kami tahu bahwa jika seseorang mengalami periode stres yang lama di tempat kerja yang dapat menyebabkan kecemasan dan depresi,” kata Emma Mamo, kepala tempat kerja yang sehat dan kesehatan sebuah lembaga bernama Mind.

Meski banyak lembaga telah memiliki beberapa keberhasilan dengan kampanye yang bertujuan menghilangkan stigma seputar masalah kesehatan mental di tempat kerja pada umumnya, industri perhotelan khususnya lambat untuk membicarakannya.

Jika Anda butuh bantuan konsultasi untuk mengatasi masalah depresi atau Anda melihat orang yang ingin melakukan aksi bunuh diri bisa menghubungi nomor darurat Kementerian Kesehatan di 119.