oleh

Seno Adji Sebut Wajar Jika KPK Mengkhawatirkan Revisi KUHP

Seno Adji Sebut Wajar Jika KPK Mengkhawatirkan Revisi KUHP

Bulatin.com – Masalah masuknya delik-delik yang mengatur tindak pidana korupsi dalam Revisi Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) belum menjumpai jalan tengah.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta beberapa pegiat antirasuah menilainya masuknya delik korupsi dalam RKUHP punya potensi melemahkan KPK dengan kelembagaan serta usaha pemberantasan korupsi di Indonesia.

Disamping itu, di bagian lain, pemerintah serta DPR RI berusaha memberikan keyakinan masuknya delik korupsi dalam RKUHP akan tidak mempreteli serta mengebiri kewenangan KPK untuk menjerat koruptor.

Guru Besar Hukum dari Kampus Krisnadwipayana, Indriyanto Seno Adji, memiliki pendapat delik tindak pidana korupsi jadi extraordinary crime serta seriously crime tidak saja terdapat pada modus operandi serta prinsip tegas penegak hukumnya.

Lebih dari itu, keluarbiasaan pidana korupsi malah terdapat pada ciri-khas terutama kejahatan.

Karenanya dibutuhkan rumusan etika hukum pidana serta ancaman pidana yang perlu lebih dari dari standard hukum pidana. ” Tersebut ciri-khas kekhususannya, ” kata Indriyanto pada mass media, Rabu, 6 Juni 2018.

Dengan kekhususannya itu, saat masuk dalam KUHP, pidana korupsi tidak sekali lagi dipandang kejahatan begitu serius atau mengagumkan. Walau dalam RKUHP itu delik korupsi masuk dalam delik tindak pidana khusus.

” Dalam soal delik tindak pidana korupsi jadi ciri-khas hukum pidana khusus diakseskan kedalam KUHP, jadi delik tindak pidana korupsi bukanlah sekali lagi dipandang jadi extraordinary atau seriousness crimes, meskipun jadi delik khusus dalam RKUHP, tapi cuma dipandang jadi ordinary crimes, ” kata Indriyanto.

Masuknya delik korupsi dalam RKUHP ini, kata bekas plt pimpinan KPK itu, juga akan beresiko pada kewenangan instansi penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan Agung, serta Kepolisian RI yang mengatasi perkara-perkara korupsi.

Pemerintah serta DPR RI berkukuh memberikan keyakinan KPK tetaplah berwenang mengatasi masalah korupsi berdasarkan UU KPK karna ada ketetapan peralihan yang ditata dalam Pasal 729 RKUHP.

Indriyanto menerangkan, pasal peralihan yang permanen dan mengatur dengan tegas serta terang kalau instansi penegak hukum tetaplah berwenang mengatasi perkara korupsi, baik yang ada didalam ataupun diluar KUHP memanglah bisa jadi jalan keluar untuk perbincangan RKUHP ini.

Dengan jalan keluar ini, penyusunan beberapa etika baru yang diadopsi dari United Nation Convention Anti-Corruption (UNCAC) kedalam RKUHP tidak punya pengaruh.

Namun, Indriyanto mengingatkan, dalam praktiknya, duplikasi regulasi delik tipikor yang ada di KUHP serta UU Tipikor juga akan menyebabkan perbincangan atau pro serta kontra tentang penafsiran hukumnya.

Pro serta kontra itu intinya menyangkut kewenangan KPK serta instansi penegak hukum lain yang mengatasi tindak pidana korupsi.

” Jadi jalan paling baik supaya hal semacam ini tidak berlangsung, baiknya diperhitungkan atau dilihat ulang butuh atau tidak meletakkan delik tipikor kedalam RKUHP. Klausul peralihan baik dalam hukum pidana materiil seperti Pasal 729 RKUHP ataupun pengalaman historis dalam hukum pidana formil yaitu Pasal 284 KUHAP senantiasa menyebabkan masalah classic masalah eliminasi kewenangan kelembagaan penegak hukum, ” kata Indriyanto.

Belum juga masalah potensi bertabraknya dua asas hukum nanti. Pada asas ketentuan perundang-undangan yang baru menaklukkan ketentuan perundang-undangan yang terdahulu, dengan asas hukum yang berbentuk khusus atau lex specialis tidak pedulikan hukum yang berbentuk umum (lex generalis).

Lumrah Khawatir

Karenanya, Indriyanto menilainya lumrah bila KPK terasa cemas dengan masuknya delik korupsi dalam RKUHP. Terlebih, percobaan mempreteli kewenangan KPK sudah berkali-kali dilancarkan baik lewat usaha membuat revisi UU KPK, kriminalisasi pimpinan, teror pada penyidik serta pegawai KPK, sampai timbulnya Pansus KPK.

” Kecemasan KPK begitu dimaklumi mengingat pengalaman mengeliminasi kewenangan KPK berlangsung berkali-kali, baik dengan memakai alur revisi UU KPK, alur legislatif lewat Pansus KPK, kriminalisasi pimpinan KPK serta yang lain, ” kata dosen Magister Hukum Fakultas Hukum Kampus Indonesia itu.

Indriyanto menyatakan, masalah kodifikasi delik tindak pidana korupsi dalam RKUHP ini mesti mencerminkan ketekunan negara dalam penegakan hukum pada korupsi. Hal semacam ini karna mulai sejak awal UU No 3 Tahun 1971 mengenai Pemberantasan Korupsi menyebutkan korupsi jadi kejahatan yang mengganggu perekonomian serta pembangunan nasional.

Karenanya, delik jabatan dalam KUHP dimasukkan dalam UU No 3 Tahun 1971 serta delik itu dipertahankan dalam UU No 31 Tahun 1999 sampai dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tipikor.

” Saat ini RKUHP malah menarik kembali delik tindak pidana korupsi dalam UU Tipikor dikembalikan sekali lagi kedalam KUHP, hingga berkesan ada inkonsistensi negara pada kebijakan pemberantasan korupsi, ” kata guru besar di Pusdiklat Kejaksaan Agung RI itu.

Kecemasan berlangsung pelemahan KPK serta pemberantasan korupsi lewat RKUHP juga buat beberapa elemen orang-orang yang tergabung dalam Orang-orang Sipil Antikorupsi untuk menggalang petisi menampik masuknya delik korupsi dalam RKUHP.

Petisi dengan judul ” KPK Dalam Bahaya, Tarik Semuanya Ketentuan Korupsi dari RKUHP! ” lewat situs https :// www. change. org/p/kpk dalam bahaya. Petisi ini diserahkan Koalisi Orang-orang Sipil Antikorupsi pada pimpinan KPK, Selasa tempo hari.

Waktu dibuka pada hari ini, 6 Juni 2018 sekurang-kurangnya mulai sejak jam 09. 30 WIB, petisi itu sudah di tandatangani sekitaran 59. 508 orang.